Rabu, 10 Oktober 2012

#BridgingCourse03


Velina Aulia
#BridgingCourse

BOM

            Bom. Saya membenci suatu benda bernama bom. Hal pertama yang ada di pikiran saat mendengar kata bom adalah sebuah benda meledakkan yang membahayakan siapa saja yang berada di dekatnya dan identik dengan seorang teroris. Saya juga benci teroris. Sampai akhirnya sesuatu bernama bom dan seorang yang disebut teroris tersebut mampir ke daerah dimana saya dilahirkan, Solo. Di sisi lain media-media gencar dan berlomba-lomba menyuguhkan berita terkini tentang tragedy terror bom dan pembunuhan aparat kepolisian. Motif dari pembunuhan dan terror tersebut belum diketahui dan hingga sekarang polisi dan anggota densus masih berusaha menguak semua motif dan pelakunya. Mendengar berita seperti itu panik adalah satu-satunya kata yang mewakilkan semua perasaan saya. Adanya peristiwa tersebut Solo yang suasananya biasanya tenang dan damai mendadak menjadi sepi, dingin dan mencekam. Semua kantor polisi yang biasanya jaga 24 jam mendadak tutup dan pulang lebih awal. Tidak bisa dipungkiri, aparat juga perlu menjaga diri dari ancaman-ancaman tentang pembunuhan, bom dan penembakan yang sebelumnya telah memakan korban.
            Shock itu pasti. Mendengar daerah asal menjadi rawan akan ancaman bom dan teroris, hati terasa tidak tenang memikirkan orang-orang tersayang yang berdomisili di Solo. Setiap hari tidak pernah absen untuk menelpon orang-orang tercinta di rumah. Beberapa terror menyatakan bom telah dipasang di beberapa tempat dan akan meledak. Namun ternyata setelah dievakuasi memang benar terdapat bom di beberapa titik tempat dan saat ditemukan bom dalam keadaan aktif lalu aparat meledakkan bom tersebut hingga terdengar sampai radius 2km. Dengan lengkap dan jelas media-media menginformasikan bagaimana keadaan saat itu hingga saya merasa khawatir dengan bagaimana keadaan Solo sekarang. Sebenarnya saya malah penasaran mengapa harus di Solo. Kenapa tidak di Jakarta atau Bali yang sudah merupakan kota besar yang terkenal? Apa motif pelaku melakukan semua ini. Dengan moment yang bertepatan dengan menangnya bapak Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta, banyak presepsi-presepsi yang mengaitkan menangnya bapak Jokowi dengan tragedy terror dan pembunuhan aparat kepolisian yang berdampak mencengkamnya daerah Solo akhir-akhir ini. Namun benar atau tidaknya masih belum pasti.
            Adanya terror bom dan teroris-teroris yang bisa mengancam Solo kapan saja membuat saya sangat mengkhawatirkan keluarga-keluarga saya di Solo. Sebenarnya siapa teroris-teroris yang tega menaruh bom di tempat umum yang akan membahayakan orang banyak? Apa mereka tidak memiliki keluarga? Bagaimana jika saat itu keluarga dan sanak saudaranya ternyata sedang berada di tempat dimana bom itu ditaruh? Apa mereka tidak berfikir sejauh itu? Tragis. Kita berada di negara demokrasi dimana keamanan dan kesejahteraan umum menjadi tujuan bersama malah dipatahkan oleh ancaman-ancaman dan pengeboman oleh para teroris. Namun sebenarnya para teroris-teroris itu pasti memiliki alasan dan latar belakang mengapa mereka melakukan semua itu yang sampai saat ini alasannya belum diketahui. Yang jauh lebih tragis lagi, teroris-teroris yang telah tertangkap sebelumnya merupakan jebolan dari sekolah-sekolah Islam atau dari pondok-pondok pesantren yang notabene telah ditanamkan ajaran-ajaran yang mendalam tentang Islam .
            Penjelasan-penjelasan yang cukup tadi menunjukkan betapa merugikan bom itu. Bisa mengancam siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Itulah mengapa saya tidak menyukai bom dan rentetannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar