Velina Aulia
#BridgingCourse
BOM
Bom.
Saya membenci suatu benda bernama bom. Hal pertama yang ada di pikiran saat
mendengar kata bom adalah sebuah benda meledakkan yang membahayakan siapa saja
yang berada di dekatnya dan identik dengan seorang teroris. Saya juga benci
teroris. Sampai akhirnya sesuatu bernama bom dan seorang yang disebut teroris
tersebut mampir ke daerah dimana saya dilahirkan, Solo. Di sisi lain media-media
gencar dan berlomba-lomba menyuguhkan berita terkini tentang tragedy terror bom
dan pembunuhan aparat kepolisian. Motif dari pembunuhan dan terror tersebut
belum diketahui dan hingga sekarang polisi dan anggota densus masih berusaha
menguak semua motif dan pelakunya. Mendengar berita seperti itu panik adalah
satu-satunya kata yang mewakilkan semua perasaan saya. Adanya peristiwa
tersebut Solo yang suasananya biasanya tenang dan damai mendadak menjadi sepi,
dingin dan mencekam. Semua kantor polisi yang biasanya jaga 24 jam mendadak
tutup dan pulang lebih awal. Tidak bisa dipungkiri, aparat juga perlu menjaga
diri dari ancaman-ancaman tentang pembunuhan, bom dan penembakan yang
sebelumnya telah memakan korban.
Shock
itu pasti. Mendengar daerah asal menjadi rawan akan ancaman bom dan teroris,
hati terasa tidak tenang memikirkan orang-orang tersayang yang berdomisili di
Solo. Setiap hari tidak pernah absen untuk menelpon orang-orang tercinta di
rumah. Beberapa terror menyatakan bom telah dipasang di beberapa tempat dan
akan meledak. Namun ternyata setelah dievakuasi memang benar terdapat bom di
beberapa titik tempat dan saat ditemukan bom dalam keadaan aktif lalu aparat
meledakkan bom tersebut hingga terdengar sampai radius 2km. Dengan lengkap dan
jelas media-media menginformasikan bagaimana keadaan saat itu hingga saya
merasa khawatir dengan bagaimana keadaan Solo sekarang. Sebenarnya saya malah
penasaran mengapa harus di Solo. Kenapa tidak di Jakarta atau Bali yang sudah
merupakan kota besar yang terkenal? Apa motif pelaku melakukan semua ini.
Dengan moment yang bertepatan dengan
menangnya bapak Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta, banyak presepsi-presepsi
yang mengaitkan menangnya bapak Jokowi dengan tragedy terror dan pembunuhan
aparat kepolisian yang berdampak mencengkamnya daerah Solo akhir-akhir ini.
Namun benar atau tidaknya masih belum pasti.
Adanya
terror bom dan teroris-teroris yang bisa mengancam Solo kapan saja membuat saya
sangat mengkhawatirkan keluarga-keluarga saya di Solo. Sebenarnya siapa
teroris-teroris yang tega menaruh bom di tempat umum yang akan membahayakan
orang banyak? Apa mereka tidak memiliki keluarga? Bagaimana jika saat itu
keluarga dan sanak saudaranya ternyata sedang berada di tempat dimana bom itu
ditaruh? Apa mereka tidak berfikir sejauh itu? Tragis. Kita berada di negara
demokrasi dimana keamanan dan kesejahteraan umum menjadi tujuan bersama malah
dipatahkan oleh ancaman-ancaman dan pengeboman oleh para teroris. Namun
sebenarnya para teroris-teroris itu pasti memiliki alasan dan latar belakang
mengapa mereka melakukan semua itu yang sampai saat ini alasannya belum
diketahui. Yang jauh lebih tragis lagi, teroris-teroris yang telah tertangkap
sebelumnya merupakan jebolan dari sekolah-sekolah Islam atau dari pondok-pondok
pesantren yang notabene telah ditanamkan ajaran-ajaran yang mendalam tentang
Islam .
Penjelasan-penjelasan
yang cukup tadi menunjukkan betapa merugikan bom itu. Bisa mengancam siapa
saja, kapan saja dan dimana saja. Itulah mengapa saya tidak menyukai bom dan
rentetannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar